Paper: Imunodefisiensi dan HIV
“HIV entry inhibitors: mechanisms of action and
resistance pathways”

Oleh:
Pricilia Donna
Esperansa Sea (2012-060-106)
Tiffany Fransiska (2012-060-
237)
Juliana Rajagukguk
(2012-060-264)
Maria Yasintha Valentine Nuwa (2012-060-268)
Fakultas Kedokteran UNIKA Atma Jaya Jakarta
2013/2014
Pendahuluan
Fungsi utama sistem
imun adalah sebagai pertahanan terhadap infeksi berbagai mikroba. Integritas
sistem imun merupakan hal yang esensial bagi bagi pertahanan tersebut, namun
apabila terjadi defek pada salah satu komponen sistem imun tersebut maka akan
menyebabkan sistem imun tidak bisa berfungsi secara adekuat yang dikenal
sebagai penyakit imunodefisiensi. Keadaan ini menyebabkan peningkatan kerentanan
tubuh terhadap berbagai penyakit
infeksi. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan
fagosit. Secara umum, keadaan ini dapat terjadi secara primer yang disebabkan
karena kelainan genetik yang diturunkan (congenital) dan secara sekunder atau
didapat, dengan insidensi defisiensi imun primer lebih jarang daripada
sekunder.
Immunodefisiensi primer
atau congenital sering kali menimbulkan kelainan pada innate immunity yang akan mempengaruhi pembentukan sel
limfosit. Abnormalitas pada pembentukan
limfosit yang mungkin disebabkan mutasi gen dapat menyebabkan kesalahan pada
pengkodean gen. Gangguan pembentukan dan fungsi limfosit B dapat menyebakan
defisiensi pembentukan antibodi yang ditandai dengan penurunan immunoglobulin
di serum, respon terhadap vaksin yang buruk, dan pada beberapa kasus menurunkan
jumlah sel limfosit B di jaringan limfoid dan plasma. Sedangkan gangguan
pematangan sel limfosit T ditandai dengan penurunan produksi antibodi dan sel T
di darah tepi. Biasanya gejala baru
muncul pada setelah usia 3-4 bulan, karena masih ada efek proteksi dari
antibodi maternal.
Immunodefisiensi
sekunder merupakan kelainan respon imun yang tidak diturunkan secara genetik namun
didapat. Imunodefisiensi sekunder dapat disebabkan oleh karena terapi
pengobatan yang menyebabkan penurunan fungsi limfosit. Selain itu juga dapat
disebabkan berbagai faktor biologi, komplikasi penyakit, malnutrisi, pengobatan
imunosupresan, neoplasma dan infeksi
yang nampak jelas pada penderita AIDS yang disebabkan infeksi HIV.
HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah virus RNA bentuk sferis termasuk retrovirus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, penyebab AIDS (Acquired Imunodeficiency Syndrom). Virus
ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 (punya gen vpu tapi tidak punya vpx) dan
HIV-2 (punya vpx tapi tidak punya vpu). Di antara kedua grup tersebut, yang
paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di dunia adalah grup HIV-1.
Infeksi HIV terjadi
melalui 3 jalur transmisi utama, yaitu mukosa genital, peredaran darah, dan ibu
ke janin. HIV menyerang sel yang memiliki marker CD4 dan menurunkan jumlah
selnya, sehingga mempengaruhi kekebalan tubuh dengan mrngurangi sel imun.
Pembahasan
Target utama infeksi
HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ dan
makrofag/monosit. Pada mulanya sistem imun dapat mengendalikan infeksi HIV,
namun dengan perjalanan dari waktu ke waktu HIV akan menimbulkan penurunan
jumlah sel limfosit CD 4 sehingga menyebabkan terganggunya homeostasis dan
fungsi sel-sel lainnya dalam sistem imun tersebut. Namun marker CD4 saja tidak cukup karena beberapa
sel lain seperti megakariosit, mukosa rektal, sel serviks, mikroglia limfosit
CD8 dan epitel ginjal juga dapat terinfeksi HIV. Selain itu reseptor kemokin
(CXCR4 dan CCR5) ternyata ikut berperan dalam mempengaruhi masuknya HIV ke
dalam sel. HIV dapat menimbulkan patologi penyakit melalui beberapa mekanisme,
antara lain terjadinya defisiensi imun yang menimbulkan infeksi oportunistik (IO), terjadinya autoimun,
reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan terjadinya malignansi atau
keganasan pada stadium lanjut.
Pada respon antibodi,
HIV justru meningkatkan pembentukan IgA dan IgG dan mempengaruhi fungsi
neutrofil. Tetapi respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, hanya sebagian
kecil antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati
respon antibodi sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain. HIV juga
dapat tetap bertahan dalam tubuh karena mempunyai kemampuan untuk bertahan
dalam limfosit CD4 dan bereplikasi. Dengan pemberian obat antiretroviral dapat
menekan replikasi HIV sehingga jumlah limfosit CD4 stabil bahkan meningkat
sehingga bisa mengurangi infeksi oportunistik. Namun demikian gejala IO dapat
kembali terjadi karena sebagai akibat gejala inflamasi. Meskipun begitu,
beberapa terapi bisa diberikan kepada pasien HIV untuk menekan reaksi HIV yaitu
dengan memanfaatkan langkah-langkah utama dalam proses infeksi HIV pada
sel,yaitu (1) bertemunya gp120 virus dan limfosit CD4, (2) pengikatan gp120 dengan reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5,
dan (3) fusi membran virus dan membran sel target.
Struktur
virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA
identik yang merupakan genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa
inti polipeptida. Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran
fosfolipid yang berasal dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi
virus ditemukan dalam envelop. Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan
HIV-1 yang mengikat reseptor CD4 pada sel T
dan makrofag. Protein gp120 virus terdiri dari domain dalam dan luar
yang terhubung oleh sebuah jembatan. Virus menginfeksi sel dengan menggunakan
glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD glikoprotein) yang terutama
mengikat CD4 dan dari sel manusia.
Setelah
virus berikatan dengan reseptor sel, membran sel virus bersatu dengan membran
sel pejamu dan virus masuk sitoplasma. Setelah HIV masuk kedalam sel dan terbentuk
dsDNA, integrasi DNA viral kedalam genom sel pejamu dan membentuk provirus.
Provirus tetap laten sampai kejadian dalam sel terinfeksi mencetuskan
aktifasinya, yang mengakibatkan terbentuk dan penglepasan partikel virus. Walau
CD4 berikatan dengan envelop glikoprotein HIV-1, diperlukan reseptor kedua
supaya dapat masuk dan terjadi infeksi. Galur tropik sel T-HIV-1 menggunakan
koreseptor CXCR4, sedangkan galur tropik makrofag menggunakan CCR5. Kedua
reseptor ini merupakan reseptor kemokin dan ligan normalnya dapat menghambat
infeksi HIV ke dalam sel.
Inhibitor
HIV : Mekanisme Dan Resistensinya
Inhibitor
ikatan CD4-gp 120 dan mekanismenya
Terdapat banyak
molekul yang mampu menghambat ikatan CD4-gp 120. Molekul-molekul tersebut
memiliki struktur dan mekanisme yang berbeda. Diantaranya :
·
PRO-542
(CD4-IgG2) adalah suatu rekombinan antibodi berbentuk
tetravalen dan larut dalam plasma. Molekul ini dapat menggabungkan empat
salinan dari ikatan domain CD4 dan meniru reseptor CD4. Merupakan salah satu
dari inhibitor ikatan CD4-gp120. Selain itu studi lain menemukan bahwa gabungan
PRO-542 dengan enfuvirtide menunjukkan hasil yang positif dalam menghambat
replikasi HIV.
·
TNX-355
adalah antibodi monoklonal non-imunosupresif yang diarahkan langsung kepada
reseptor CD4. Molekul ini bersaing dengan gp120 pada HIV untuk mengikat CD4.
Awalnya diketahui bahwa sisi pengikatan antibodi pada reseptor CD4 berbeda
debgan sisi yang terlibat dengan HIV gp120. Dengan demikian, TNX-355 dapat
mencegah perubahan konformasi sebelum HIV berhasil masuk ke sel. Percobaan awal
pada pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan bahwa dosis TNX-355 yang sedikit
mengurangi RNA HIV-1 dalam plasma dan
meningkatan jumlah CD4 + sel T.
·
CADA
adalah inhibitor spesifik dari ikatan CD4-gp120 yang tidak berinteraksi
langsung dengan reseptor CD4 atau dengan gp120. Aktivitas antivirus CADA
diasumsikan untuk mengatur ekspresi reseptor CD4 setelah translasi.
·
BMS-806
memiliki afinitas yang tinggi untuk
mengikat HIV gp120, sehingga menghalangi perubahan konformasi pada gp120
setelah CD4 terikat. Pengikatan BMS-806 pada HIV gp120 termasuk spesifik,
reversibel dan koreseptor independen. Namun molekul ini tidak aktif terhadap
HIV-2 dan simian immunodeficiency virus (SIV).
Molekul-molekul
diatas tidak menunjukkan sitotoksisitas yang signifikan, bahkan tidak memiliki
toksisitas pada hewan. Namun memiliki bioavailabilitas yang baik.
Interaksi
gp120 dengan koreseptor kemokin
Selain
mengikat ke reseptor sel CD4, HIV perlu mengikat koreseptor kemokin untuk masuk
ke dalam sel. Koreseptor utama yang terlibat dalam masuknya HIV kedalam sel
adalah CCR5 dan CXCR4. Pembentukkan kompleks CD4-gp120 memunculkan perubahan
konformasi pada envelop virus sehingga dapat berinteraksi dengan CCR5 atau
CXCR4.
CCR5
dan CXCR4 memiliki tujuh famili reseptor pasangan protein G transmembran. CCR5
dan CXCR4 memiliki struktur heliks yang terdiri dari empat domain transmembran,
tiga loop ekstraseluler, dan satu domain N-terminal. Kompleks CD4-gp120
mengikat koreseptor melalui daerah V3 meskipun daerah V1/V2 dan C4 mungkin bisa
juga terlibat dalam interaksi. Sekuens asam amino V3 menentukkan terhadap
pengikatan dengan CCR5 dan/atau CXCR4. Dengan demikian, isolasi virus dapat
diklasifikasikan menjadi jenis R5, X4, dan R5/X4, tergantung pada ikatan mereka
dengan koreseptornya.
Antagonis
CCR5 dan mekanismenya
Antagonis CCR5 dan
CXCR4 dibagi menjadi tiga kelompok tergantung pada ukurannya yakni molekul
besar (PRO-140), medium (Met-RANTES dan AOP-RANTES ) yang dimodifikasi menjadi
ligan natural yang membuat CCR5 tidak dapat dimasuki. Dan yang terakhir
beberapa molekul inhibitor kecil untuk CCR5
(TAK-779, SCH-C, SCH-D, UK-427857 and GW-873140) atau untuk CXCR4 (AMD3100 and
KRH-
1636)
telah dikembangkan. Kebanyakan antagonis CCR5 adalah
molekul kecil yang menghambat interaksi CCR5-gp120.
§ TAK-779
adalah molekul non-peptida pertama yang memblok replikasi R5 secara in vitro
dengan mengganggu interaksi dengan koreseptor CCR5. TAK-779 memiliki
bioavaibilitas yang kecil dan pengembangan klinis nya dihentikan karena reaksi
lokal saat pemberian yang membuat sulit dalam manajemen. Penelitian lebih
lanjut berdasarkan TAK-779 menyebabkan identifikasi TAK-220. Senyawa ini sangat
efektif terhadap blok replikasi R5 dan tahap ujiklinis fase II saat ini sedang
berlangsung.
§ TAK-652
merupakan antagonis baru dari Takeda Chemical Industries. TAK-652 menunjukkan
bioavailabilitas yang baik dan memiliki potensi yang tinggi terhadap HIV.
§ PRO-140
adalah antibodi monoklonal yang menghambat pengikatan gp120 HIV.
§ Maravirok
merupakan antagonis CCR5 yang dikembangkan oleh Pfizer. Hasil awal uji coba
fase II sangat menjanjikan. Hampir semua pasien mengalami penurunan plasma
viremia dan tetap ditekan selama setidaknya 10 hari pasca pengobatan.
§ Dan
yang terakhir, Aplaviroc menunjukkan
hasil yang signifikan baik secara in vitro maupun in vivo aktivitas antivirus.
Namun telah diumumkan tentang penghentian pengembangan klinis karena
menimbulkan hepatotoksisitas yang serius.
Antagonis
CXCR4 dan mekanismenya
§ AMD3100
antivirus yang berpotensi menunjukkan penghambatannya terhadap X4 telah
dikonfirmasi dalam berbagai studi baik secara in vitro maupun in vivo.
§ KRH-1636
merupakan salah satu antagonisCXCR4 lagi
yang serupa dengan AMD3100. Studi yang telah dilakukan terhadap tikus menunjukkan
bahwa obat ini dapat diserap dengan baik dengan demikian diharapkan dapat
memiliki bioavalaibilitas yang baik.
§ KRH-2731
adalah antagonis CXCR4 baru yang mengikat ke loop ekstraseluler kedua dan
ketiga (ECL2 dan ECL3). Penelitian yang secara invitro telah menegaskan bahwa
KRH-2731 memiliki aktivitas antivirus yang berpotensi terhadap penghambatan X4
dan R5X4, yang bisa 10 kali lipat lebih tinggi dari AMD070 yang merupakan salah
satu senyawa AMD3100.
Resistensi
terhadap antagonis CCR5 dan CXCR4
Secara
teoritis ada 2 jalur utama resistensi terhadap antagonis CCR5 dan CXCR4, yaitu
pergeseran dalam penggunaan koreseptor dan perubahan daerah genom-envelop pada
HIV yang memungkinkan interaksi antara gp120 dan koreseptor meskipun ada
inhibitor. Sejauh ini, kebanyakan resisten antagonis CCR5 menggunakan
koreseptor CCR5 daripada beralih ke CXCR4. Selain itu terjadi bermacam-macam
mutasi pada daerah yang berbeda pada HIV gp120 (V3, C2, V2, C4). Kebanyakan
mutasi resisten ini khusus untuk setiap senyawa yang berbeda yang diharapkan
dapat mencegah resistensi silang. Dalam kasus apapun, resistensi CCR5 antagonis
tidak menunjukkan resistansi silang dengan ARV, RT dan inhibitor protease. Atau
resisten silang terhadap molekul penghambat lain, seperti ikatan inhibitor
CD4-gp120 dan enfuvirtide.
Resistensi
terhadap CXCR4 antagonis kurang dijelakan dibandingkan resistensi terhadap CCR5
antagonis. Mutasi pada domain V3 HIV gp120 tampaknya menjelaskan hilangnya
kerentanan terhadap banyak dari senyawa ini. Namun, mutasi pada gp120 HIV
wilayah lainnya (V1, V2 dan V4) juga telah dikaitkan dengan resistensi terhadap
CXCR4 antagonis, termasuk delesi lima asam amino dalam domain V4[kodon 364-368
(FNSTW)].
Meskipun
hasil awal belum mengidentifikasi pergeseran dalam penggunaan koreseptor
sebagai jalur utama untuk menghindari resistensi CCR5 antagonis, hal ini
penting sebagai pengontrol terutama pada pasien dengan campuran R5 dan X4
virus. Pergeseran penggunaan koreseptor CCR5 dari arah CXCR4 menggunakan CCR5
antagonis bisa memiliki konsekuensi yang bahaya dalam perkembangan penyakit
HIV, karena virus X4 yang diisolasi cenderung lebih ganas dari virus R5. Di
sisi lain, sebaliknya bisa juga dengan penggunaan CXCR4 antagonis, dalam hal
pergeseran terhadap virus R5.
Peleburan
inhibitor dan mekanismenya
Setelah
interaksi antara kompleks gp120-CD4 dan reseptor kemokin CCR5 atau CXCR4,
perubahan konformasi tambahan berlangsung di envelop virus yang menyebabkan
pergeseran dari non-fusogenik ke keadaan fusogenik dari HIV gp41, yang akhirnya
mendorong proses fusi . N-terminal domain gp41 dimasukkan melalui peptida fusi
(FP) ke dalam membran sel. Kemudian, gp41 mengalami reorganisasi struktural
yang memprovokasi interaksi antara daerah heptad HR1 dan HR2, membentuk
termostabil, struktur bundel enam helix, yang sangat penting bagi virus dan
fusi membran sel. Perubahan energi bebas berhubungan dengan pembentukan bundel
enam helix memberikan tenaga yang diperlukan untuk pembentukan pori fusi, dan
kapsid virus memasuki sel target melalui proses ini.
Enfuvirtide
adalah peptida sintetik dari 36 asam amino yang meniru sebuah fragmen HR2 dari
gp41. Yang mengikat HR1 pada wilayah pembentukan struktur bundel enam helix,
yang sangat penting untuk proses fusi. Pada uji klinis, keamanan enfuvirtide
ditunjukkan dari manfaat virologi dan
imunologi pada penambahan enfuvirtide bersama dengan ARV pada pasien TB.
Enfuvirtide disetujui untuk pengobatan infeksi HIV pada tahun 2003.
Resistensi
terhadap fusi inhibitor
Hasil
selanjutnya diperoleh dalam studi klinis menunjukkan bahwa resistensi pada
pasien yang menerima enfuvirtide juga karena perubahan luas dari kodon 36-45
dalam HR1. Enfuvirtide harus dipertimbangkan sebagai obat dengan hambatan
genetik rendah untuk perlawanan.
Berbagai
kerentanan terhadap enfuvirtide pada virus yang terisolasi telah terbukti pada
pasien enfuvirtide-naif, serta individu menjalani terapi enfuvirtide. Faktor
penentu heterogenitas ini tidak jelas, tetapi polimorfisme di wilayah HR2 dari
gp41 serta perubahan HR2 dipilih selama pengobatan enfuvirtide bisa menjelaskan
fenomena ini. Beberapa perubahan HR2 telah diakui pada pasien di bawah terapi
enfuvirtide. Oleh karena itu, sulit untuk menyimpulkan bahwa perubahan HR2
dapat mempengaruhi kepekaan enfuvirtide. Namun, ada juga yang mengidentifikasi
perubahan spesifik dalam HR2 selama terapi enfuvirtide (yaitu mutasi S138A),
yang merupakan kompensasi mutation.
Selain
faktor virus, penentu host (yaitu tingkat ekspresi koreseptor pada sel target)
juga dapat mempengaruhi kerentanan terhadap enfuvirtide. Dengan cara ini,
tingginya tingkat CCR5 pada permukaan sel mungkin mengakibatkan fusi HIV lebih
cepat, mengurangi waktu di mana HIV gp41 dapat ditargetkan oleh enfuvirtide.
Oleh karena itu, individu yang membawa Δ32-CCR5, yang mengungkapkan rendahnya
tingkat CCR5, tampaknya merespon lebih baik terhadap enfuvirtide.
Penutup
Salah
satu penyebab penyakit imunodefisiensi pada manusia adalah karena infeksi HIV (Human Imunodeficiency Virus). HIV
bekerja pada sel target yang mempunyai marker CD4, seperti limfosit T dan
makrofag. Namun CD4 saja tidak cukup karena HIV tetap dapat menginfeksi sel-sel
lain, bahkan sel yang mengandung CD4 negatif. Koreseptor kemokin CCR5 dan CXCR4
juga memegang peranan penting dalam infeksi HIV pada sel target. Respon
defisiensi imun yang terjadi tidak hanya bersifat selular tetapi juga bersifat
humoral, karena sel T helper ikut mengaktivasi limfosit B. Dapat menimbulkan
infeksi oportunistik (IO), terjadinya
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan kecenderungan terjadinya malignansi
atau keganasan pada stadium lanjut.
HIV merupakan virus yang
unik dan sangat berbahaya karena menular, dapat bertahan hidup dalam limfosit
CD4, memiliki respon terhadap antibodi yang lemah. Hanya sebagian kecil
antibodi yang dapat menetralisasi HIV karena itu HIV dapat melewati respon
antibodi sehingga dapat tetap hidup dan menginfeksi sel lain serta mengakibatkan
kematian. Vaksinnya sendiri belum ditemukan. Salah satu terapi HIV yang dapat
dibuat adalah dengan menghinhibisi reaksi penyatuan virus dan sel target.
Memasukkan
inhibitor merupakan pilihan terapi yang
menjanjikan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Enfuvirtide adalah inhibitor fusi
pertama yang disetujui dalam penggunaan klinis, tetapi banyak senyawa lain yang
saat ini masih dalam tahap pengembangan. Pengetahuan mengenai mekanisme dari
masing-masing molekul ini sangat penting untuk memahami dan memprediksi jalur
resistensi yang sesuai. Banyak perubahan yang terjadi pada domain gp120 telah dikaitkan dengan resistensi inhibitor. Selain itu, masih harus di
konformasi apakah pergeseran penggunakan koreseptor mungkin jalur alternatif
bagi HIV untuk menghindari tekanan obat pada pasien yang telah terekspos
antagonis CCR5 atau CXCR4.
Daftar Pustaka
IPD UI, jilid 1
Imunologi Dasar UI, edisi 8
Abass, Immunology,
J. Antimicrob. Chemother.-2006-Briz-619-27.pdf
Komentar
Posting Komentar